Sungguh ironis memang melihat dan mendengar teriakan para guru honorer , silahkan di baca cerita berikut semoga bisa menjadi motivasi dan semangat tersindiri dalam mengajar, semoga bermanfaat .
METRONEWS.CLICK - Terseok-seok menyusuri jalan berliku dan berkerikil. Badan letih. Pikiran tak lagi jernih. Antara dapur dan umur yang semakin beranjak senja. Mau tidak mau ia harus memikirkan dapur sehingga anak istri hidup sejahtera. Memikirkan umur yang semakin rentan terhadap serangan kekebalan tubuh, ia resah karena belum ada titik terang mengenai usahanya.
“Orang bahagia karena mendapat gaji bulanan!” tegasnya.
Rumah kayu dengan atap rumbia tidak lagi utuh jika dilihat saksama. Arti bahagia memang berbeda. Satu hal yang pasti, bahagia itu selalu didukung dengan hidup mapan. Sifat temperamental justru mudah muncul di saat genting. Belum lagi jika kebutuhan hidup terus mengalir dan waktu tak pernah mengubah nasib.
“Saya berusaha, sama dengan orang lain!” nada perih itu terdengar tegas. “Saya pergi pagi meninggalkan rumah, anak istri untuk menggais rejeki yang tak ada hasilnya!” suara itu lebih dalam daripada yang bisa diselami maknanya. Mata laki-laki itu berkaca-kaca. Gagahnya tak pernah pudar. Keras hatinya tak dibuat-buat. Namun dari semua yang terbaca, luka dihatinya tak bisa digantikan dengan apapun – bahkan dengan iming-iming pengangkatan menjadi pegawai negeri sebagaimana yang telah dijanjikan.
“Saya dizalimi,” ujarnya dengan parau. Mungkin ia meredam emosi yang berkecamuk. Ingin memperlihatkan bahwa dirinya tegar dalam lelah. Padahal lelahnya terlihat dari sorot mata dan nada yang ia keluarkan.
“Lebih dua puluh tahun saya honor. Saya ikhlas mengajar. Ratusan generasi telah terdidik dan sukses. Mengapa saya diabaikan?”
Tersisih, terisak dalam sendiri dan tidak tahu mengadu kepada siapa. Mereka yang membuat janji tak pernah menepati. Berapa generasi pemerintah berganti namun namanya juga belum tercatat sebagai bagian dari mereka yang menerima gaji tetap. Ia terus diamini sebagai pengajar yang ikhlas berbagi padahal dirinya butuh makan karena kerangka manusia yang diembankan memerlukan suplai energi.
“Selalu saya dibuang!” nadanya berubah emosi. Matanya seperti menyala. Gerahangnya tegas. Keringat mulai bercucuran di keningnya. Tubuh lelah itu tak menafikan bahwa dirinya nyata diabaikan oleh aturan pemerintah. “Orang-orang itu, baru honor sudah jadi pegawai karena ibu bapaknya pejabat. Kami dianggap tak ada karena berbagai alasan!”
Tahulah akhir-akhir ini pengangkatan honorer menjadi pegawai kian marak. Namun namanya bahkan awalnya tak tercantum. Kemudian diusulkan kembali dan ada di sana tetapi prosesnya semakin bertele-tele. Ia digeser oleh entah siapa yang menurutnya telah berpihak kepada kekuasaan. Ia dibuang oleh mereka yang baru memulai.
“Mengajar itu pengalaman hidup, tak sekadar ilmu semata!” sorot matanya memendam sebuah asa kepada siapa yang telah merenggut kedudukannya. Ia yang semula yakin akan dihargai namun kembali jatuh ke tanah merah basah karena dirinya tak ada apa-apa dibandingkan dengan mereka yang mengandalkan uang dan tahta.
“Apakah saya bodoh karena tidak lulus verifikasi? Bagaimana dengan anak didik saya yang sukses bekerja jadi guru, orang kantor, pegawai bank dan lain-lain itu? Saya yang mengajarkan mereka. Saya yang mendikte huruf demi huruf sebelum mereka pintar membaca!”
Sebentar termenung. Kata-katanya benar. Tidak ada alasan pemerintah atau siapapun itu dengan lantang mengatakan guru honorer itu bodoh. Karena keberuntungan mereka berada di sisi yang salah dan dianggap anak bawang. Pengabdiannya puluhan tahun telah mencetak generasi yang mungkin saja sedang mencemooh guru honorer di bagian bumi lain. Generasi yang sedang memimpin, bekerja di bidang masing-masing tetap saja buah karya guru di sekolah, pegawai negeri maupun honorer!
“Apakah saya benar-benar bodoh?” pertanyaan itu membuat dirinya tampak bodoh. Bukan bodoh dalam arti tidak bisa mengajar atau menguasai pelajaran di kelas. Bagian itu biarlah miliknya seorang. Bodohnya karena berada dalam keputusasaan yang teramat panjang. Sampai kapan?
“Orang-orang akan ada dana pensiun setelah mengajar puluhan tahun,” ujarnya lirih. Dan dia? Harus kembali ke sawah, memangkul cangkul, menanam padi, menjual hasil panen yang tidak seberapa, sampai usia tuanya tak sanggup lagi bernyali. Saat ini tiba, siapa yang peduli padanya? Pada pengabdiannya. Pada keikhlasan hidupnya. Pada mereka yang memenjarakan dirinya karena birokrasi. Pada mereka yang berkoar-koar atas kekuasaan. Pada mereka yang mencampakkan kedudukan seorang guru honorer.
“Tanpa guru honor, sekolah akan tutup!” suaranya lantang. Guru pegawai mengajar sesuai aturan main 24 jam, sesuai mata pelajarannya pula. Jam-jam yang kurang tersebut mau tidak mau harus dilimpahkan kepada guru honor. Sayangnya, pemerintah buta akan hal ini dan masih menganggap guru honorer tidak penting padahal kekurangan guru ada di mana-mana!
“Dari tahun ke tahun, keikhlasan ganjaran mengajar itu. Kami berharap akan diangkat. Tapi apa yang terjadi?” mereka diabaikan. Lucunya sekolah membutuhkan tenaga honor namun tanpa bayaran padahal dana di sekolah luar biasa banyaknya. Jika dilihat perubahan insfrastuktur juga tak banyak berubah. Tiap tahun dana itu berganti. Dana yang masuk ke kas sekolah pun tak pernah kembali ke negara. Secuil saja bolehlah diambil untuk tenaga honor sebelum kepala sekolah atau bendaharanya naik kendaraan roda empat!
“250 ribu perbulan itu omong kosong!” segitukah? Informasi yang beredar memang demikian. Namun ia mengaku tak pernah menerima apa yang dijanjikan pemerintah tersebut. Kemudian apa yang ia tuntut?
“Keluarga saya butuh makan, Bang!” Wandi, sebut saja namanya begitu, menutup penjamuan senja itu dengan lirih. Mata laki-laki empat puluhan tahun ini berkaca-kaca. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kekuasaan itu mutlak ada pada mereka yang menorehkan tinta di kertas putih.
Sumber : (http://log.viva.co.id)
0 comments:
Post a Comment